Jumat, 03 Desember 2010

Salut! Randai Kesenian Asli Indonesia Jadi Kurikulum wajib di Amerika

Randai, kesenian dari Minangkabau, Sumatera Barat menjadi kurikulum pelajaran wajib di Hawaii, Manoa, Amerika Serikat.
Randai adalah kesenian teater rakyat dari kelompok etnis Minangkabau yang menggabungkan musik, nyanyian, tari, drama dan seni bela diri silat. Randai biasanya dilakukan untuk upacara tradisional dan festival.
Biasanya,  satu grup Randai berjumlah  14 sampai 25 orang pemain  yang membawakan lakon dari cerita rakyat,  seperti, Kati Alam, Samsudin, Siti Sabariah, Alam, Saedar Siti Janela, dan lain-lain.
Secara teknis, Randai merupakan perpaduan antara tari, musik dan teater. Keunikannya terletak pada bentuk penyajian dengan bentuk pola lingkaran. Kedekatan antara pemain dan penonton menjadikan Randai sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.
Randai biasanya dimainkan di halaman atau di lapangan, sehingga penonton yang mengelilingi pemain tampak menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam setiap penampilan, penonton boleh saja menyela dialog-dialog yang disampaikan pemain atau mungkin bersorak untuk memberikan gairah pemain, seperti halnya kesenian Lenong di Betawi.
Mata pelajaran Randai pernah menjadi kurikulum wajib di University of Hawaii tahun 2000-2001, kata Budayawan Sumbar, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto.
Musra yang akrab disapa “Mak Katik” itu pernah mengajar kesenian randai di universitas itu selama satu semester. Bahkan, pada Agustus 2011, dia kembali diundang ke Hawaii untuk mengajarkan randai.
Mak Katik pernah menampilkan randai dengan melibatkan mahasiswa asing dari delapan negara menjadi pemain, pemusik, dan pendendang untuk cerita “Umbuik Mudo” yang dialihbahasakan dari bahasa Minang ke bahasa Inggris.
Kesenian randai, kata Mak Katik yang juga disapa sebaga “Tuo Randai”, disukai dan dikagumi karena penuh dengan filosofi adat dan agama.
“Di balik dialog dan gerak silat, sarat filosofi adat dan agama yang menjadi dasar kehidupan,” katanya menegaskan.
Menurut dia, bila kesenian Minangkabau bisa menjadi kurikulum wajib di luar negeri, seharusnya di ranah sendiri juga demikian.
Karena tidak diprioritaskannya kurikulum budaya adat Minangkabau di Sumbar, lanjut dia, membuat peran ninik-mamak atau saudara seibu tidak lagi terasa.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Sayuti Dt. Rajo Pangulu mengatakan pihaknya akan kembali mencoba mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya di tengah masyarakat yang mulai pudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...