Jumat, 03 Desember 2010

Pasar terapung terakhir di dunia

Pasar Terapung memang pasar yang khas dan memang benar-benar terapung alias mengapung di atas air.  Konon tidak banyak tempat di bumi ini yang mempunyai pasar terapung.  Mungkin anda pernah menonton di salah satu stasion TV swasta yang menayangkan cuplikan pasar terapung seperti di bawah ini :
Pasar terapung adalah pasar tradisional yang berada di atas sungai.  Uniknya, baik pedagang maupun pembeli sama-sama menggunakan perahu dalam melakukan transaksi.  Jadilah perahu-perahu tersebut seperti  toko atau kios yang mengapung.  Pasar terapung nan khas ini dulunya banyak bertebaran di Sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Suasana pasar terapung yang unik dan khas adalah berdesak-desakan antara perahu besar dan kecil saling mencari pembeli dan penjual yang selalu berseliweran kian kemari dan selalu oleng dimainkan gelombang sungai Barito. Pasar terapung tidak memiliki organisasi seperti pada pasar di daratan, sehingga tidak tercatat berapa jumlah pedagang dan pengunjung atau pembagian pedagang bersarkan barang dagangan.
Para pedagang wanita yang berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh, sedangkan tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan. Keistemewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk, sesuatu yang unik dan langka.

Namun sekarang, satu-satunya pasar terapung yang masih menampakkan geliatnya hanya tinggal pasar terapung Lok Baintan yang berada di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.  Sedangkan pasar  terapung yang dulunya banyak bertebaran di atas sungai barito  telah punah. Bahkan Kota Banjarmasin yang dulu memiliki pasar terapung Muara Kuin dipastikan menyusul punah berganti dengan pasar darat. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Kuin harus menelan kekecewaan karena tidak menjumpai adanya geliat eksotisme pasar di atas air.
Kepunahan pasar tradisional di daerah “seribu sungai” ini dipicu oleh kemaruk budaya darat serta ditunjang dengan pembangunan daerah yang selalu berorientasi kedaratan. Jalur-jalur sungai dan kanal musnah tergantikan dengan kemudahan jalan darat. Masyarakat yang dulu banyak memiliki perahu atau jukung, sekarang telah bangga memiliki sepeda motor atau mobil.
Beruntung Desa Lok Baintan masih bertahan. Desa tersebut menjadi salah satu pewaris budaya sungai termegah di Kalsel. Keberadaan sungai sekarang ini  masih menumpu roda ekonomi masyarakat setempat.  Entah nanti…..

sadur bebas : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...